Egoisme Panteistik: Menghamba Tapi Menuntut Tuhan Memberi Reward
Panteisme adalah sebuah pemahaman yang mendoktrinkan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Artinya dalam ideologi Islam, pantestik termasuk kesyirikan karena menyetarakan makhluk dengan Sang Khaliq. Dalam logika sederhana jika Tuhan sama dengan ciptaannya maka sesungguhnya dia bukan Tuhan tapi dia adalah ciptaan juga.
Seseorang yang merasa dirinya memiliki hak-hak dan kekuasaan ketuhanan berarti dia seorang panteis. Panteisme merupakan parasit bagi aqidah seorang muslim. Eksistensi panteisme dalam alam pikiran seorang muslim akan menggerogoti kebenaran aqidah yang sudah mapan. Besar kemungkinan akan menjadi bola salju yang memurtadkan tanpa sadar.
Egoisme panteistik, egoisme yang bercokol dari benih asumsi panteisme. Egoisme ialah sebentuk kesombongan diri sebagai punya arti penting dalam kehidupan ini untuk dipenuhi hajatnya oleh Allah. Padahal hanya Allah yang berhak menuntut pemenuhan hak kepada makhluq karena Dia satu-satunya wujud (eksistensi) yang penting. Dalam bahasa sederhana, penganut egoisme panteistik melakukan kerja-kerja ‘ubudiyyah lantas merasa berhak mendapat reward dari Allah padahal penghambaanya bukan setulus embun fajar.
Allah mengingatkan Nabi dengan maksud mengecam umat beliau,
{وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ}
“dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” [QS. Al-Muddatstsir: 6]
Ada tiga tingkatan manusia dalam beribadah yang pertama beribadah karena takut akan siksa Allah. Imam Nawawi Banten menamakan tingkatan ini dengan ’ibādatul-’abīd, ibadah para budak. Kenapa? Karena yang seperti ini—sebagaimana mental seorang budak—mematuhi perintah hanya karena takut disiksa oleh Tu(h)annya.
Kedua, beribadah karena mengharapkan surga dan pahala dari Allah. Tingkatan ini oleh Imam Nawawi Banten disebut sebagai ’ibādatut-tujjār, ibadah para pedagang. Sebab, seperti halnya pedagang yang selalu mencari keuntungan, orang-orang yang berada pada tingkatan ini juga hanya memikirkan keuntungan dalam ibadahnya.
Ketiga, beribadah karena malu kepada Allah dan demi memenuhi keharusannya sebagai hamba Allah yang bersyukur disertai rasa khawatir sebab amal ibadahnya belum tentu diterima di sisi-Nya. Imam Nawawi mengatakan, tingkatan ini adalah ’ibādatul-akhyār, ibadah orang-orang pilihan.
Tentunya dari tingkatan manusia dalam beribadah ini tingkatan ketigalah yang paling baik, namun demikian, walaupun setelah dinilai ternyata diri kita masih berada dalam tingkatan pertama maka teruslah beribadah, karena hanya dengan ibadah yang istiqamah kita akan mencapai tingkatan yang ketiga.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment