Menjadi Wali Jalur Makan-makan
Diutarakan Gus Baha, “Abu Yazid Al-Busthamiyy menjadi seorang wali karena setiap mau makan selalu mempertanyakan perihal makanan tersebut kepada Allah, “Ya Allah, Engkau itu tidak butuh saya tapi kenapa ngasih makan saya.” Awareness semacam itu tentu berangkat dari kedalaman sanubari yang sudah sangat penuh dengan kenangan tentang Allah Ar-Razzaq.
Gus Baha juga berujar dalam momen yang lain, “Saya itu setiap minum saya yakini, “Ya Allah. Ini minuman dari Allah. Jadi ini luar biasa, karena yang memberi adalah Allah.” Orang mudah jadi wali saat makan, dibanding ketika baca wirid. Sudahlah njenengan percaya saya, coba saja. Ini tidak bercanda.” Ma’rifat memang akan mendorong seseorang untuk melupakan ke-aku-annya sehingga bisa fokus kepada Allah Al-Haqq yang merupakan satu-satunya pemilik ke-aku-an yang hakiki.
Islam adalah agama makan-makan. Bagaimana tidak? Ada bayi lahir makan-makan, disebut ‘aqiqah. Datang tanggal 10-13 Dzul Hijjah makan-makan, disebut ‘Idul-Adh-ha. Datang 1 Syawwal, sebelum berangkat shalat ‘Idul-Fithri, makan-makan. Kalau melanggar larangan haji-’umrah, diharuskan memfasilitasi kaum proletar makan-makan. Kalau meninggalkan puasa karena sakit parah-pesimistis, hamil & menyusui karena khawatir keselamatan anak, tua bangka/renta, diwajibkan memgasilitasi kaum marginal makan-makan. Ada yang menikah makan-makan, disebut walimah nikah. Ada yang pulang safar termasuk haji-’umrah makan-makan, disebut walimah safar, bahkan Nabi biasa menyembelih dan memasaknya. Punya anak-istri makan-makan yang sama dengan suami/ayah. Punya pembantu bahkan budak mesti difasilitasi makan-makan yang lumrah. Sakit makan-makan utamanya buah kurma varietas ‘ajwah atau madu atau lainnya. Masih banyak perintah makan-makan dalam Islam, atau memfasilitasi makan-makan.
Dalam reportase kitab Hilyah Al-Auliya`, diriwayatkan ‘Abdul-Wahid bin Zaid pernah membuat jamuan makan dan mengundang sejumlah kawannya, termasuk ‘Utbah. la mengatakan, "Semua orang makan kecuali ‘Utbah. la terus berdiri melayani mereka. Lalu sebagian dari mereka menengok ke arah Utbah. Mereka melihat matanya mencucurkan air mata. Kemudian ia diam dan menghadap ke arah makanan. Ketika mereka selesai makan, mereka pun bubar sedang orang tersebut memberitahu Abdul Wahid tentang apa yang dilihatnya pada diri ‘Utbah. ‘Abdul Wahid bertanya kepada Utbah, "Sungguh, mengapa Anda menangis sementara mereka makan?" la menjawab, "Aku teringat perjamuan ahli Surga dan para pelayan yang berdiri melayani mereka."
Menjadi wali jalur kuliner merupakan salah satu alternatif yang mengasyikkan. Pada era disrupsi ini, kita bisa menyulap cafe, kedai, restoran sebagai simpul-simpul zawiyah atau khaniqah atau ribath untuk manjing suluk tanpa harus mengubah plang nama. Seluruh bumi adalah masjid. Kita bisa menggelar sajadah di kantor, di pasar, di toko, di pabrik, di wahana wisata, di terminal, di tempat hiburan, di pantai, di gunung, dan di manapun, lalu kita menapaki maqam demi maqam mendekat (taqarrub) kepada Allah tanpa meninggalkan makan-makan dan puasa tirakat.
Menjadi wali jalur kuliner tidak berarti pesta pora hedon banjir makanan setiap hari. Tidak. Sekadar roti keras, kurma kering, ikan kurus, buah sortir, itu semua bisa memwalikan kita, tergantung seberapa lama kesadaran kita penuh jejal dengan kenangan tentang Allah. Menjadi wali jalur kuliner juga tidak melulu atau sekadar melafazhkan alhamdu lillah seusai menikmati hidangan. Lebih dalam dari itu, awareness kita dengan ke-maha-an Allah melalui sajian.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment