Header Ads

Meraih Wushul dengan Amal Sosial

 


Pelanggaran terhadap larangan haji harus dibayar dengan fidyah bukan dengan istighfar. Membatalkan puasa tanpa udzur Syar’iyy harus dibayar dengan fidyah bukan dengan kalimat inabah. Melanggar sumpah harus dibayar dengan fidyah bukan dengan ucapan memohon ampun. Mengkhianati nadzar juga harus dibayar dengan fidyah bukan dengan pertaubatan lisan semata. Terlalu picik paradigma kita manakala kita kerdilkan Islam hanya sebatas kronik ritual apalagi hanya nonstopnya bibir mengkomat-kamit wirid.


Islam merupakan agama yang mengajarkan heroisme sebagai salah satu ekspresi penghambaan kepada Allah Al-Jalil. Islam bukan agama yang terperangkap dalam altar-altar seremonial. Islam sangat membumi sekaligus melangit. Frekuensi ibadah sosial jauh lebih banyak daripada ibadah ritual. Bab demi bab kitab-kitab keislaman selalu sarat pembahasan seputar bagaimana kita beramal sosial sebagai implementasi kerinduan kita kepada Allah Al-Haqq. 


Nabi Ibrahim, satu orang, berqurban 1000 kambing, 300 sapi, (dan) 100 unta. Seekor kambing harganya sekitar 3 juta. Jika dikalikan 1000 jadi 3 miliar. Seekor sapi harganya sekitar 20 juta. Jika dikalikan 300 jadi 6 miliar. Sedangkan seekor unta, harganya sekitar 40 juta. Jika dikalikan 100 jadi 4 miliar. Total kisaran 13 miliar rupiah. Qurban Nabi Ibrahim tidak hanya satu kali seumur hidup.


Dalam catatan matematis Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul-Fattah bin Muhammad As-Samman, Nabi Muhammad telah menunjukkan kepada dunia bahwa ketaatan kepada Allah diantaranya adalah dengan berbagi bahan konsumsi pokok jenis lauk-pauk berupa daging unta dalam skema penundaan dam (denda wajib) haji sebanyak 250 ekor. Dalam reportasenya melalui buku Amwal An-Nabiyy, Prof As-Samman juga mendata beraneka amal sosial Nabi diantaranya memberi pekerjaan halal untuk 75 kaum proletar dan pelunasan piutang kepada para debitur yang bangkrut.


Ibadah ritual maupun sosial tetap membuahkan kekhusyu’an, bergantung keseriusan kita mengikat konsentrasi untuk tetap fokus pada kenangan tentang Allah. Dipengaruhi pula oleh sedikit-banyak maksiat yang kita perbuat. Setiap maksiat meninggalkan endapan dalam qalbu yang membuat susah khusyu’ atau bahkan tidak bisa sama sekali, alih-alih Wushul.-alih wushul.


Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)


Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.



Artikel di atas juga disampaikan secara online oleh penulis dalam majelis.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.