Header Ads

Hukum Merayakan Ulang Tahun Hari Kelahiran Perspektif Tashawwuf (Sufisme) Menurut LTN JATMAN Jatim



Dilansir dari NU Online, sebagian ulama meliputi Syaikh Prof. Dr. 'Aliyy Jum’ah, Syaikh Dr. Salman Al-'Audah, Syaikh Dr. 'Amr Khalid, Lembaga Fatwa Mesir pimpinan Syaikh Prof. Dr. Syauqi ‘Allam, dan Lembaga Fatwa Palestina menyatakan, merayakan hari ulang tahun diperbolehkan. Syaratnya, perayaan tersebut tidak mengandung perbuatan yang diharamkan, seperti ikhtilath (pergumulan bukan mahram yang mengarah pada fitnah), melupakan Allah, dan lain-lain. 


Al-Habib Muhammad bin Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiriyy (wafat 1360 H) anggota Dewan Majelis Qadha` Tarim Yaman sekaligus mursyid Thariqah ‘Alawiyyah berfatwa, "Tradisi hari ulang tahun biasanya disambut dengan suka cita oleh masyarakat dan untuk mengenang hari lahirnya. Adapun bagi seorang muslim hendaknya menjadikan momentum hari kelahiran tersebut sebagai perantara untuk mengevaluasi diri dan melakukan perbandingan antara tahun yang telah lewat dengan tahun berikutnya, apakah dirinya semakin bertambah baik dan meningkat atau justru malah buruk dan menurun? Perayaan ulang tahun seperti ini merupakan praktik yang baik, dan hendaknya hal itu tidak dilakukan karena sekadar ikut-ikutan saja ataupun dilakukan dengan pemborosan." [Syarh Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris, [Jeddah: Dar Al-Minhaj], halaman 175]

Syaikh Dr. Yusuf Khathar Muhammad, Pakar Tashawwuf di Universitas Sultan Muhammad Al-Fatih Turki, mengingatkan, “Seluruh hal yang telah disampaikan tadi berisi ragam pendapat mengenai pensyariatan maulid (perayaan ulang tahun) dan hanya berlaku pada acara ulang tahun yang tidak terdapat unsur kemungkaran yang tercela di dalamnya. Namun apabila acara ulang tahun tersebut mengandung unsur kemungkaran, seperti halnya terjadi pencampuran antara laki-laki dan perempuan, melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, dan memboroskan harta, maka hal ini tidak disangsikan lagi keharamannya.” [Al-Mausu’ah Al-Yusufiyah, [Mesir: Dar At-Taqwa], juz 1, halaman 147-148]


Ustadz Prof. Dr. H. Abdul Somad Batubara alias UAS yang notabene murid thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) pernah menyampaikan, “Dalam Islam, hukum merayakan hari kelahiran atau ulang tahun diperbolehkan. Akan tetapi bukan untuk ikut merayakan tradisi (baca: nonmuslim). Karena barangsiapa mengikuti tradisi, maka ia bagian dari kaum tersebut. Nanti di Akhirat, ia akan dibangkitkan bersama orang yang ikut-ikut tradisi itu.” [https://www.tvonenews.com/religi/141563-hukum-merayakan-ulang-tahun-dalam-islam-ustaz-abdul-somad-beri-jawaban-begini-ternyata-itu?page=3]


Jika perayaan ulang tahun diharamkan dengan argumen tasyabbuh (menyerupai) nonmuslim, maka jawabannya, tasyabbuh dalam hal yang bukan simbol (syi’ar) agama nonmuslim maka tidak terlarang sepanjang tidak diniati mencintai mereka. Walaupun bukan simbol agama selain Islam, jika menyerupai pemeluk agama lain diniatkan sebagai wujud kecintaan dan loyalitas maka haram tapi tidak membuat murtad. Sekadar serupa tidak otomatis tasyabbuh yang haram. Terbukti dalam surat menyurat akhirnya Nabi mengikuti kultur Yahudi dengan menggunakan stempel surat. Praktik Nabi ini menjadi dalil Majelis Tarjih Muhammadiyah membolehkan perayaan ulang tahun. [https://tarjihjatim.pwmu.co/2023/12/01/hukum-merayakan-ulang-tahun1/]


Kebolehan memperingati hari kelahiran setiap tahun ini dapat diqiyaskan dengan haflah dzikra maulid Ar-Rasul yang pada praktiknya tidak selalu tepat pada 12 Rabi’ul Awwal, bahkan sepanjang tahun setiap hari, dikatakan oleh Syaikh Sayyid Abu Bakr ‘Utsman bin Muhammad Zainal ‘Abidin Syatha Ad-Dimyathiyy Al-Bakriyy guru langsung Mochammad Darwisy alias K. H. Achmad Dachlan pendiri Muhammadiyah, “Menurut Imam Abu Syamah: Termasuk Bid’ah Hasanah pada zaman ini, yang dilakukan pada setiap tahun yang bertepatan di hari lahirnya Nabi ialah melakukan shadaqah, melakukan hal baik, dan menunjukan kebahagiaan. Dan semua perkara tersebut besertaan perkara yang ada didalamnya termasuk perbuatan baik kepada faqir miskin, yang mana menunjukan kecintaan kita kepada Nabi, dan mengagungkannya di dalam hati seorang yang melakukan kebaikan tersebut, dan menunjukan sifat bersyukur kita kepada Allah atas adanya Rasullulah yang mana mengantarkan kita kepada rahmatnya.” [I’anah Ath-Thalibin]


Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)


Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.