Menakar Keaslian Artefak Fisik Nabi di Galeri Joko Tingkir Trangkil Temboro
Pondok Pesantren Al Fatah Temboro, Karas, Magetan memiliki museum yang menyimpan artefak-artefak fisik dari Rasulullah, para sahabat, para ulama, dan para wali songo. Beberapa waktu yang lalu penulis atas nama Lajnatut-Ta'lif wan-Nasyr JATMAN Jatim diberi kesempatan oleh pengasuh pesantren jamaah tabligh ini untuk masuk ke Galeri Joko Tingkir trangkil tersebut. Penulis bahkan diberi kesempatan untuk memegang dan tabarrukan dengan pedang milik sayyidina Husein dan Khalid bin Al Walid serta batu bekas telapak kaki Nabi Muhammad.
Di dalam Galeri yang berinisial JT mirip akronim Jama’ah Tabligh tersebut banyak dipamerkan artefak Nabi mulai dari rambut Nabi, darah bekam Nabi, pasir makam Nabi, tongkat Nabi, potongan sorban Nabi, sandal Nabi, keringat Nabi, batu bekas telapak kaki Nabi, dan lain-lain. Tidak hanya itu, ada pula baju Sayyidah Fathimah, kiswah makam Nabi, kiswah Ka’bah bagian dalam, guci Sayyidah Khadijah, dan lain-lain. Semuanya asli bukan replika dan menurut penuturan Ustadz Sholeh pemandu di situ, semuanya sudah melalui riset seorang profesor arkeolog dari United Kingdom. Di gedung kedua disediakan artefak-artefak tiruan sehingga pengunjung bisa puas memegang.
Tonton kunjungan LTN JATMAN Jatim di https://youtu.be/-ePUN_ErQwU?feature=shared.
Dilansir Detik News Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tabligh Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas 9/5/2019 mengingatkan masyarakat soal heboh satu helai rambut Nabi Muhammad dari salah satu museum di Turki, "Ya, Nabi mengatakan, 'Aku tidak mewariskan apa-apa kecuali Alquran dan As-Sunnah.' Yang penting itu bukan rambut atau warisan fisik Nabi, tapi Al-Quran dan As-Sunnah. Kalaupun iya itu rambut Nabi, lalu untuk apa? Pertanyaannya untuk apa? Kalau baju, sandal, serban, dan sejenisnya bisa dilihat aspek budayanya. Nah, rambut untuk apa?"
Senada, ayahanda Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq Al-Badr merujuk Syaikh Al-Albaniyy menyatakan, “Peninggalan Nabi dari jasad seperti rambut, baju, sandal, tongkat dan sebagainya. Ngalap berkah padanya boleh sebagaimana dilakukan sahabat dan tabiin. Adapun sekarang, maka peninggalan tersebut telah hilang, tidak ada wujudnya dan tidak boleh dijadikan sebagai sandaran.” [At-Tahdzir Min Ta’zhim Al-Atsar Ghair Al-Masyru’ah 4/215-216 -Kutub Wa Rosail-]
Mainstream Salafi-Wahhabi memang mendustakan semua orang yang mengklaim menyimpan peninggalan fisik Nabi dengan dalih tidak mungkin awet berlandaskan fatwa para ulama ikonik mereka. Logikanya, berani mendustakan harus berani membuktikan kepalsuan apa yang didustakan. Sekadar klaim itu mudah. Hasil jelalah dunia maya, Saudinesia.id, Muslim.or.id, Konsultasisyariah.com, dan lainnya yang merupakan kanal Salafi-Wahhabi satu suara meyakini palsu semua museum yang berisi peninggalan Nabi. Perhatikan! Mereka meyakini palsu. Padahal meyakini sesuatu sebagai palsu berarti harus membuktikan ke-palsu-annya bukan sebatas dakwaan.
Uniknya, Salafi-Wahhabi mengutip statemen seorang peneliti kebudayaan Arab Ahmad Taymour Pasha,
فما صح من الشعرات التي تداولها الناس بعد ذلك ، فإنما وصل إليهم مما قسم بين الأصحاب رضي الله عنهم ، غير أن الصعوبة في معرفة صحيحها من زائفها
Tak satupun riwayat valid yang bersambung sampai ke Nabi berkenaan rambut Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang tersebar di masyarakat sepeninggal beliau. Rambut-rambut beliau yang sampai kepada mereka mungkin bersumber dari para sahabat; semoga Allah meridhai mereka, yang telah tersebar setiap helainya. Hanya saja, sangat sulit mengidentifikasi riwayat yang valid dengan yang tidak. [Al-Atsar An Nabawiyah, hal. 82 – 84] https://www.hindawi.org/books/72916402/6/
Cermati! Taymour Pasha tidak menafikan mutlak, hanya menyatakan sulit divalidasi orisinalitasnya. Memastikan keaslian artefak Nabi mirip metode tashih-tadh’if hadits, kebenaran nasab, dan keaslian apapun bagian dari Ka’bah, Hathim, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, dan benda-benda bersejarah lainnya, bahkan termasuk riwayat qira`at sab’ah hingga arba’ asyrah. Semuanya berujung pada keyakinan yang divalidasi dengan metode tertentu yang berpeluang debatabel.
Hadits yang diyakini shahih -alias valid dari Nabi- oleh sebuah komunitas pasti berdasar validasi seorang muhaddits. Muhaddits yang lain bisa jadi meyakininya dha’if merujuk hasil penelitiannya sendiri lalu diyakini oleh fansnya dha’if. Jika ditarik benang merah lebih jauh, semua bermuara pada istifadhah dan syuhrah. Siapa yang bisa menjamin keaslian tujuh kepingan Hajar Aswad? Khadimul-Haramain? Apakah orang-orang yang tidak percaya Khadimul-Haramain boleh mendebat, “Bisa saja Hajar Aswad yang dibawa palsu karena pernah bertahun-tahun dijarah Kaum Qaramithah.” Tentu jawabannya, semua sudah yakin Hajar Aswad yang ada di Ka’bah asli, maka kita mesti meyakini asli. Kita meyakini detail teks Al-Qur`an hingga nuqthahnya juga karena sudah mutawatir alias syuhrah wa istifadhah.
Hakekatnya, di dunia ini kebenaran yang kita yakini adalah dalam tataran manusia, sementara kebenaran mutlak adalah hanya dalam ilmu Allah, di Akhirat kita baru tahu mana yang benar-benar benar dan tidak. Dengan demikian, kita yakini keaslian artefak-artefak fisik Nabi dan perlengkapan keseharian beliau berdasar penelitian arkeologis dan syuhrah wa istifadhah. Bagi siapa yang tidak percaya, tafadhdhal, itu pilihan hidup, bagi yang mempercayai juga. Lebih dari itu, bagi pemalsu artefak Nabi pasti ada efek negatif dalam hidupnya. Artefak Nabi yang asli pasti berefek positif bagi siapa saja. Sebagaimana Ka’bah, Hajar Aswad, Hadits Nabi, nasab, amalan thoriqoh tashowwuf, makam leluhur, teks Al-Qur`an, dan lainnya.
Dari dulu, setiap klaim pasti memantik pendukung dan pendusta. Lagi pula, Salafi-Wahhabi juga menyitir kalam Muhammad bin Sirin yang menyimpan rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul-’Aziz,
لأن تكون عندي شعرة منه أحب إلي من الدنيا وما فيها
“Aku memiliki sehelai rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.” [Shahih Al-Bukhariyy no. 170]
Sebakdanya, Salafi-Wahhabi mentaqriri, “Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk yang mereka lakukan sama sekali tidak mengandung sesuatu yang dapat mencacati tauhid uluhiyyah ataupun tauhid rububiyyah. Dan bolehnya ber-tabarruk kepada jasad dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, “Para ulama sepakat tentang disyariatkannya ber-tabarruk kepada asar (peninggalan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan para ulama yang menulis sirah, syamail (keutamaan-keutamaan), dan hadis Nabi, telah memaparkan berbagai hadis yang menunjukkan tabarruk-nya para sahabat yang mulia terhadap asar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berbagai bentuknya.” [Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 70/10].”
Tidak lupa, jika yang dikhawatirkan dari klaim-klaim keaslian artefak fisik Nabi adalah adanya monetisasi atau komersialisasi, maka semua yang tidak berbau agama pun bisa diuangkan. Kenapa yang dituduh komersialisasi hanya yang berbau agama saja? Pun begitu, siapa yang mengkomersialisasi agama pasti celaka dunia-Akhirat, bisa diamati. Semua kegiatan berbau agama yang menghasilkan uang memang selalu bisa dituduh komersialisasi dan memperalat agama. Dari sini, kita mesti ingat, husnuzh-zhann selalu berbuah baik, dan Allah tidak pernah membiarkan agama ini diselewengkan, pasti ada mujaddid yang dipilih-Nya.
Kalau mau main su`uzh-zhann, apakah pernah kita pernah meneliti keaslian air zamzam yang kita dapat dari botol atau kran? Dasar kita hanya husnuzh-zhann kepada Khadimul-Haramain dan para peneliti air zamzam di sana. Bahkan, menjiplak taswis (peragu-raguan) terhadap artefak-artefak fisik Nabi yang orisinil, kita bisa juga taswis alias meragukan orisinalitas sumur zamzam yang ditemukan ‘Abdul-Muththalib atau sumur zamzam yang dikelola Khadimul-Haramain. Kita tidak pernah tahu, sumur yang disedot Khadimul-Haramain saat ini apakah sumur zamzamnya Nabi Muhammad atau bukan, dan airnya yang kita terima hari ini, murni atau kontaminasi. Dasar kita husnuzh-zhann. Allah membalas husnuzh-zhann kita dengan barakah sesuai husnuzh-zhann kita.
Kesimpulannya, artefak-artefak fisik Nabi di Galeri Joko Tingkir Trangkil Ponpes. Al-Fatah Temboro adalah asli berdasar penelitian arkeologis, syuhrah, istifadhah, bukti efek empiris. Pun demikian, K. H. Ubaidillah Ahror bin K. H. Mahmud Kholid Umar mewanti-wanti agar para pemandu Galeri untuk mengingatkan pengunjung bahwa semua yang dipamerkan di sini adalah diduga kuat asli, bukan ekspresi keraguan tapi ketawadhu’an.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028) dan Nunuk Indah Mayang Sari, S.Pd.
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment