Orientalis Tegaskan Tashawwuf (Sufisme) Bukan dari Agama Lain
Tuduhan terhadap tashawwuf selalu dilancarkan oleh siapa saja yang tidak mendapatkan keuntungan rohani maupun jasmani dari tashawwuf. Pada prinsipnya siapa yang mendapatkan sesuatu pasti akan mendukungnya. Sebaliknya ketika seseorang tidak mendapatkan keuntungan apapun dari sesuatu pasti akan menentangnya.
Tashawwuf sering kali diputus sebagai ajaran panteisme hasil racikan berbagai agama. Tuduhan tersebut ditembakkan oleh sebagian muslim bahkan setelah mendapat paparan dari orientalis bahwa tasawuf bukan dari Islam. Tuduhan semacam ini tentu saja serapuh sarang laba-laba. Tuduhan seperti ini jelas membuat wajah tashawwuf tercoreng bak agama tersendiri yang lepas dari Islam.
Logika yang mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain hanya karena adanya kesamaan dalam hal-hal tertentu merupakan logika yang cacat. Tasawuf diframing bersumber dari dogma filsafat, doktrin Nashrani, kredo Hindu-Budha, dan lainnya hanya karena ada ajaran tasawuf yang hampir serupa. Framing ini dijadikan sebagai bahan tashawwur (pendeskripsian masalah) untuk menetapkan status hukum. Walhasil, tashawwuf distatuskan hukumnya sebagai bid’ah dhalalah bahkan murtad.
Framing tashawwuf bukan berakar pada ajaran Islam sebenarnya mencuat sejak Abraham Geiger (1833) melalui "Was Hat Mohammed uas dem Judenthum Aufgenommen", Daniel Kaufmann (1877) melalui "Geschichte der Attributenlehre in der Judischen Religion", dan Ad. Merx (1892) melalui "Grundlinen der Sufik". Ketiganya memposisikan tashawwuf berasal dari ideologi Yahudi. Pandangan ini tentu tidak dapat dijadikan dalil.
Orientalis kawakan Reynold Alleyne Nicholson semula memiliki pandangan serupa, mengaminkan tashawwuf bukan Islam. Pasca riset lanjutan, Nicholson lantas meralat klaimnya tersebut. Dar Al-Ifta` Al-Mishriyyah (semacam MUI di Mesir) menyebutkan, Hasil riset Nicholson menjadi contoh konkrit persoalan ini. Nicholson punya pendapat-pendapat pada masa lalu yang dirilisnya pada tahun 1906 di mana Nicholson menyatakan bahwa tasawuf adalah anak kandung filsafat Plato, Kristen, dan Gnoticism. Kemudian pada tahun 1921 Nicholson menulis jurnal yang memperkuat rujuknya dari pendapatnya yang dulu, Nicholson menampik kesimpulan bahwa tashawwuf anak kandung tradisi luar (agama lain). Nicholson juga mengisyaratkan bahwa fenomena zuhud dan tashawwuf itu muncul dari Islam, keduanya ajaran Islam yang murni. [Tentang Tashawwuf Islami dan Sejarahnya, terjemahan Abu Al-’Ala ‘Afiqi, bagian muqaddimah]
Dar Al-Ifta` Al-Mishriyyah juga mengungkapkan, "Pasca penelitiannya tentang istilah-istilah tashawwuf, Louis Masignon memandang bahwa sumber tashawwuf ada empat: (1) Al-Qur`an Al-Karim, merupakan rujukan utama munculnya istilah-istilah tashawwuf; (2) Ilmu-ilmu Arab Islam seperti hadits, fiqih, dan lainnya; (3) Istilah-istilah para ahli ilmu kalam generasi awal; (4) Bahasa ilmiah yang merebak di Timur pada abad keenam masehi yang bersumber dari bahasa lain seperti Yunani, Persia dan selainnya, sehingga menjadi bahasa ilmiah dan filsafat."
Kesamaan istilah maupun tampak kasat mata dua hal yang berbeda tidak berkonsekuensi keduanya sama saja. Jika dipersamakan, maka akan kacau. Orang-orang sujud ke arah Ka’bah juga mirip dengan orang-orang yang menyembah patung Yesus, Budha dan lainnya. Orang-orang yang berdoa di sekitar kubur juga mirip dengan orang-orang yang menyembah kubur. Banyak hal-hal yang serupa sesungguhnya tidak sama. Nabi Muhammad membawa Syari’at Islam juga mirip dengan ajaran-ajaran Jahiliyyah seperti aqiqah, thawaf di Shafa-Marwah, menjamu tamu, menikah, menyebut nama Allah, i’tikaf, dan lain-lain. Kita tidak akan pernah meyakini Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah hasil adopsi tradisi Jahiliyyah.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment