Header Ads

Perseteruan Sadah Ba’alawi dengan Kelompok Anti-Ba’alawi Mengancam Keutuhan NKRI


 

Sadah Ba’alawi dan gerbong anti-Ba’alawi menjadi seteru yang terus memanas sampai hari ini sejak sekian tahun silam. Para skeptis nasab Ba’alawi sudah menyerukan ‘usir habib dari Indonesia’ sejak beberapa tahun lalu. Tidak terkecuali Zein Assegaf ‘Habib’ Kribo menyoraki Habib Rizieq Shihab dan Sayyid Bahar bin Smith untuk angkat kaki dari Bumi Pertiwi. Baru-baru ini, Teuku Muda Qori Alfasey diusir oleh sejumlah warga. Baru-baru ini pula, dalam helatan Haul Ke-9 Habib Salim bin ‘Umar bin Hud Al-Aththos, IB HRS juga menggaungkan ‘usir para begal nasab habaib’.


Kita teringat politik devide et impera yang dilancarkan musuh pribumi untuk menaklukkan Nusantara agar menjadi negara lemah. Apakah permusuhan  ini cara asing menghancurkan Indonesia? WAllohu A’lam. Kalau pun tidak, setidaknya kita redam demi keutuhan NKRI. Anugerah Alloh berupa Indonesia ini mesti dijaga demi tegaknya Islam di muka bumi. Betapa naifnya sebagian kecil umat Islam yang menggagas pendirian Negara Islam dengan meninggalkan Indonesia.


Dalam berbagai gelaran giat JATMAN termasuk JATMAN Jatim, tema ‘Menjaga Keutuhan NKRI’ hampir tidak pernah tertinggal, terkesan ‘stagnan’ padahal merepresentasikan konsistensi. Termaktub pada Peraturan Dasar (PD) Pasal 15 “Di bidang kebangsaan; meningkatkan kecintaan terhadap tanah air dengan menjaga tetap tegaknya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945.” Moderasi Beragama yang menjadi proyek strategis Nasional, salah satu indikatornya adalah komitmen kebangsaan. Indonesia adalah negara majemuk yang harmonis sebagai karunia Allah Yang Mahaesa. Kita sebagai anak bangsa patut mensyukurinya dan merawatnya.


Jika pengusiran terhadap sesama muslim bukan dalam kerangka permusuhan tanpa alasan Syar’i, maka bisa jadi dapat dibenarkan mengingat ada hadits Nabi riwayat Abu Hurairah sebagai berikut,

حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَدِينِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ ثَلَاثٌ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُخْرِجَهُ.

Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah, memberi informasi pada kami Khalid, dari ‘Abdur Rahman bin Ishaq Al-Madiniyy, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abu Hurairah berkata, Berkata Rasulullah, “Barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, menjamunya selama tiga hari. Menjamu setelah tiga hari dihukumi sebagai sedekah, tidak halal bagi tamu tinggal (bermalam) hingga (tuan rumah) mengeluarkannya.”


Ada lagi hadits yang tidak jauh beda,

عن أبى موسى الاشعريّ رضي الله عمه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلم: الاستئذانُ ثلاثٌ، فان أذن لك و الاّ فارجع

Dari Abu Musa Al-Asy’ariyy radhiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!” [Shohih Al-Bukhoriyy, no. 5891 dan Muslim, no. 2153]


Tatkala Rosululloh menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sahabatnya makan-makan. Usai makan, mereka pun duduk berbincang-bincang, padahal Rosululloh sudah siap akan berdiri, akan tetapi mereka tidak juga berdiri. Rosululloh berdiri diikuti oleh sebagian yang lain, sementara tiga orang di antara mereka masih duduk bercakap-cakap. Lalu Rosululloh berkehendak untuk masuk (kamar) sedangkan orang-orang itu masih tetap duduk. Terlihat gestur Rosululloh tidak nyaman dengan situasi tersebut, barulah mereka pun berdiri dan pergi. Anas mengabarkan kepada Rosululloh bahwa mereka telah pergi, Rosululloh pun masuk kembali. Turunlah QS. Al-Ahzab: 53.


Kendati ketiga nash ini menggariskan kebolehan mengusir tamu, tidak berkonsekuensi niradab atau zeroakhlaq. Etika keislaman ditunjukkan Rosululloh dalam ketidaknyamanan atas keberadaan seseorang di mana Rosululloh tidak serta-merta meminta pergi. Sekadar bahasa tubuh lebih sopan, persis kultur ketimuran yang cenderung santun, tidak seperti kasus yang sedang hangat yang kita bicarakan di awal.


Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)

Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.