Tidak Percaya Diri itu Penting Menurut Ilmu Tashawwuf (Sufisme), Percaya itu Hanya Kepada Allah
Seruan perlawanan terhadap penyakit psikologis berjuluk insecure gencar digalakkan selaras dengan gerakan empowerment kepercayaan terhadap integritas diri secara individual. Dalam konteks motivasi, hal ini bagus. Dalam konteks ‘ubudiyyah, hal ini bisa mengancam konstruksi ‘aqidah. Tidak percaya diri itu justru penting untuk merawat iman secara logis.
Nabi tatkala pertama kali menerima wahyu, tidak percaya kalau itu wahyu dari Allah dan yang membawa adalah Malaikat Jibril. Nabi menikah dengan sembilan istri bahkan lebih selalu dalam kondisi tidak percaya kalau bisa adil secara zhahir kecuali dalam rangka ngelakoni dawuh (menjalankan perintah). Nabi ketika perang Badar berdoa habis-habisan karena tidak percaya bisa memenangkan pertempuran atau tidak. Nabi ketika dakwah ke Tha`if tidak percaya berhasil mengislamkan atau tidak. Nabi menjelang wafat mewasiatkan shalat berkali-kali karena tidak percaya seluruh umatnya akan selalu di atas hidayah atau tidak.
Nabi diajarkan oleh Allah untuk tidak percaya pada diri sendiri melainkan percaya pada Allah, seperti diceritakan oleh Allah,
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ ٱلرُّسُلِ وَمَآ أَدْرِى مَا يُفْعَلُ بِى وَلَا بِكُمْ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ وَمَآ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
“Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". [QS. Al-Ahqaf: 9]
Hanya saja, Nabi sudah yakin pasti masuk Surga, karena sudah ada garansi privilege dari Allah. Pun demikian, Nabi masih tidak percaya jika secara mandiri bisa memberi syafa’at kepada umat beliau untuk masuk Surga, Nabi ‘hanya’ percaya Allah memberi hak syafa’at kepada beliau. Sikap seperti ini terkesan seperti kelemahan. Tak ayal, pasca ayat di atas turun, praktis orang-orang Yahudi, musyrikun dan munafiqun bersorak gembira sembari berujar,
كيف نتبع نبيا لا يدري ما يفعل به ولا بنا ، وأنه لا فضل له علينا ، ولولا أنه ابتدع الذي يقوله من عند نفسه ، لأخبره الذي بعثه بما يفعل به .
“Bagaimana kami akan mengikuti seorang Nabi yang dirinya sendiri tidak tahu apa yang Allah perbuat dengannya dan dengan kami. Dia tidak punya kelebihan atas kami. Kalau bukan apa saja yang dia katakan dari dirinya sendiri, tentu Allah yang mengutusnya pasti memberitahunya apa yang diperbuat Allah padanya.” [Adhwa` Al-Bayan li Asy-Syinqithiyy 7/217]
Semua ulama setiap kali berfatwa atau menulis kitab pasti mengakhiri narasinya dengan wa Allahu A’lam karena tidak percaya hasil pikirannya pasti dibenarkan Allah atau tidak. Seperti inilah ekspresi tawadhu’ di hadapan Allah. Kita yang bukan siapa-siapa, semestinya tidak percaya diri untuk masuk Surga atau selamat dari Neraka, namun bersamaan dengan itu kita percaya Allah selalu Mahaluas rahmat-Nya sekaligus tidak pernah akan zhalim kepada kita.
Redaktur: Agus H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd. (Anggota LTN JATMAN Jatim 2023-2028)
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa izin.
Post a Comment