Panjang Umur Para Wali
Kita yang terlahir sebagai milenial ini mungkin masih sempat mendengar bahkan menemui nenek moyang kita hidup hingga usia di atas seratus tahun. Memang itu bukan prestasi tapi tentu saja karunia. Menjadi prestasi manakala selaras dengan barakah. Barakah Allah selain anugerah tanpa syarat, bisa jadi sebagai panjar ganjaran Akhirat.
Panjangnya usia menjadi dambaan tidak sedikit orang. Tidak banyak hamba yang dikaruniai Allah umur yang panjang. Imam Al-Munawiyy mengutip pandangan Ath-Thibiyy, pendeknya usia manusia akhir zaman merupakan bagian dari rahmat dan kasih sayang Allah. Allah mengurangi usia mereka agar tidak terlalu lama bergelut dengan dunia, tetapi Allah melipatgandakan ganjaran amal baik umat Nabi Muhammad atas kemurahan-Nya. [Faidh Al-Qadir]
Syaikh Al-Mubarakfuriyy mengungkapkan, Kebanyakan usia panjang umur yang kami perhatikan di kalangan sahabat adalah usia Anas bin Malik yang wafat pada usia 103 tahun, Asma binti Abu Bakr yang meninggal pada umur 100 tahun tanpa tanggal satu pun giginya dan tanpa berkurang daya ingatnya, penyair Hasan bin Tsabit yang wafat pada usia 120 tahun (setengah usianya pada masa jahiliyah dan separuh sisanya pada masa Islam), dan Salman Al-Farisiyy yang meninggal pada umur 250 tahun. Ada yang bilang, sahabat Salman wafat pada usia 300 tahun. Tetapi pendapat pertama lebih shahih. [Tuhfah Al-Ahwadziyy bi Syarhi Jami’ At-Tirmidziyy]
Panjangnya umur tidak identik dengan kasih sayang Allah. Orang yang berumur pendek bisa jadi lebih disayang Allah. Hamba yang disayang Allah kemungkinan lebih pendek umurnya, namun hamba yang panjang umurnya tapi banyak amalnya bisa jadi lebih disayang Allah. Sayyid Ibrahim bin Ad-ham yang viral terutama karena berhasil menundukkan binatang buas yang membuat murid-muridnya ketar-ketir akan keselamatan. Dengan tenang Ibrahim bin Adham berujar kepada sang raja hutan, “Wahai singa, jika engkau datang di sini diperitahkan untuk melakukan sesuatu kepada kami, maka lakukanlah. Namun jika tidak, kembalilah ke tempatmu semula.” Mirip kalam Nabi Isma’il kepada ayahandanya, Nabi Ibrahim, seperti diabadikan Allah dengan firman-Nya,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". [QS. Ash-Shaffat (37): 102]
Redaktur: H. Brilly Yudho Willianto, M.Pd.
Post a Comment